SAFE
MOTHERHOOD
PERAN KB DALAM
GERAKAN SAFE MOTHERHOOD
( Dosen : dr. Luknis Sabri, SKM. M.Kes )
Disusun Oleh :
Fibrianti 150510012
PROGRAM PASCASARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2016
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN........................................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….... 4
C.
Tujuan ……………………………………………….................. 4
BAB II TINJAUAN TEORI
A.
Pengetrtian.................................................................................. 4
B.
Tujuan KB................................................................................... 5
C.
Tujuan Program KB ................................................................... 6
D.
Sasaran KB.................................................................................. 6
E.
Peran KB Dalam Gerakan Safe Motherhood.............................. 7
BAB III SITUASI TERKINI
A.
Kondisi Umum ........................................................................... 14
B.
Kondisi Keluarga Berencanan Diindonesia................................ 18
C.
Artikel terkait KB ...................................................................... 28
BAB IVPEMBAHASAN
A.
Pembahasan.................................................................................. 32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan................................................................................... 35
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasawarsa terakhir ini, dunia
internasional nampaknya benar-benar terguncang. bagimana tidak jika setiap
tahun hampir sekitar sejuta warga dunia harus menemui ajalnya karena
persalinan, dan nampaknya hal ini menarik perhatian yang cukup besar sehingga
dilakukan berbagai usaha untuk menanggulangi masalah kematian ibu ini.
Berdasarkan data dari Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AngkaKematian Ibu (AKI) di Indonesia
telah menunjukkan penurunan yang signifikan daritahun 1994 sampai dengan tahun
2007 yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup, meskipundemikian angka tersebut
masih tertinggi di Asia. Akan tetapi bila dilihat dari targetMillenium
Development Goals (MDGs) yakni 110 per 100.000 kelahiran hidup, maka AKI saat
ini masih perlu diturunkan lagi. Sumatera Utara menjadi propinsi nomor
tigatertinggi angka fertilitas setelah Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Angka
FertilitasTotal (TFR) adalah jumlah dari angka kelahiran menurut kelompok umur
atau rata-ratajumlah anak yang akan dilahirkan oleh seorang wanita pada akhir
masa reproduksi jika mengikuti fertilitas yang berlaku.
Pada Riskesdas 2010, PUS usia 15-49
tahun berstatus kawin dan memakai alat KB tahun 2009 sebanyak (75,7%). Propinsi
dengan persentase peserta KB aktif tertinggi adalah Bengkulu (85,5%), Bali
(85,1%), dan DKI Jakarta (82%). Sedangkan persentase peserta KB aktif terendah
adalah Papua (33,9%), Maluku Utara (59,5%), dan Kepulauan Riau (64,3%).
Persentase peserta KB aktif menurut metode kontrasepsi yang sedang digunakan
adalah KB suntik dan KB pil yang masih banyak diminati sebagai alat KB oleh
pasangan usia subur yaitu masing-masing sebesar
(50,2%) dan (28,3%). Sebaliknya
Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita (MOW) merupakan metode
kontrasepsi yang terendah diminati oleh Akseptor KB. Berdasarkan metode
kontrasepsi menurut propinsi, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR/IUD) banyak
digunakan di Propinsi Bali (47,88%) dan DI Yogyakarta (25,44%) dengan
persentase jauh di atas propinsi yang lain. Persentase terendah pemakaian IUD
di Kalimantan Selatan (1,78%) dari persentase nasional (4,3%). Begitu pula
untuk metode MOW kedua propinsi tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan
propinsi lainnya yaitu Bali (3,79%) dan DI Yogyakarta (5,1%). Kaitan
Menurut WHO kematian ibu (maternal
death) adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah
berakhirnya kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat
oleh kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh
kecelakaan/cedera.Berbagai penyebab utama terjadinya kematian ibu adalah
perdarahan, infeksi dan eklampsi. Menurut WHO bahwa 98 % penyebab kematian ibu
itu dapat dicegah. Menurt data WHO periode 1997 sampai dengan 2007, penyebab
kematian maternal berturut-turut adalah hemorrhagic (35%), hipertensi (18%),
Inderect cause (18%), abortion and miscarriage (9%), sepsis (8%) dan embolism (1%).
Sesungguhnya
tragedi kematian ibu tidak perlu terjadi karena lebih dari 80% kematian ibu
sebenarnya dapat dicegah melalui kegiatan yang efektif, semisal pemeriksaan
kehamilan, pemberian gizi yang memadai dan lain-lain . Melihat kondisi itu
semua, disusunlah suatu gerakan yang disebut dengan Safe Motherhood. Dimana safe motherhood merupakan
upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya sehat dan
aman, serta melahirkan bayi yang sehat.
Oleh karena itu upaya penurunan AKI
serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap merupakan salah satu prioritas
utama dalam penanganan bidang kesehatan. Departemen Kesehatan pada tahun 2000
telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) jangka panjang upaya penurunan angka
kematian ibu dan kematian bayi baru lahir. Dalam Renstra ini difokuskan pada
kegiatan yang dibangun atas dasar sistem kesehatan yang mantap untuk menjamin
pelaksanaan intervensi dengan biaya yang efektif berdasarkan bukti ilmiah yang
dikenal dengan nama "Making Pregnancy Safer (MPS)". Strategi MPS ini
mengacu pada 3 pesan kunci yaitu : 1) setiap persalinan ditolong oleh tenaga
bidan terlatih, 2) setiap komplikasi obstetrik neonatal mendapat pelayanan yang
adekuat, dan 3) setiap wanita usia subur dapat akses terhadap pencegahan
kehamilan serta penanganan aborsi yang tidak aman.
Penyebab kematian ibu selain karena
perdarahan, preeklamsia/eklamsia adalah tingginya paritas pada seorang ibu,
yang diikuti rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Tingginya paritas
seorang ibu, selain mempunyai dampak terhadap angka kesakitan dan kematian ibu
juga meningkatkan jumlah penduduk yang tidak terkendali. Pada isu status
reproduksi 4 Terlalu (4T) : yaitu keadaan ibu yang terlalu muda (untuk menikah,
hamil dan punya anak), usia terlalu tua tetapi masih produktif, kehamilan
terlalu sering dan jarak kehamilan terlalu dekat memberi peran penting terhadap
penurunan AKI dan pencapaian program Keluarga Berencana.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan data diatas bahwa jumlah kematian Ibu
dan Bayi di Indonesia setiap tahun semakin meningkat, salah satu penyebab dari
hal tersebut adalah kehamilan terlalu sering dan jarak kehamilan terlalu dekat
yang member peran penting terhadap penuruan AKI dan pencapaian program KB.
Dimana penurunan angka Kematian Ibu dan Bayi merupakan program dari gerakan
Safe Motherhood. Jadi yang menjadi rumusan masalah disini adalah apakah yang
dimaksud dengan Safe Motherhood dan Keluarga Berencana. Serta sejauh mana peran
KB dalam Gerakan Safe Motherhood.
1.3 Tujuan
a. Umum
Untuk mengetahui sejauh
mana peran KB dalam gerakan Safe Motherhood
b. Tujuan
Khusus
1) Untuk
mengetahui konsep Keluarga Berencana
2) Untuk
mengetahui Konsep Safe Motherhood
3) Untuk
mengetahui peran KB dalam gerakan Safe Motherhood
4) Untuk
mengetahui situasi terkini tentang Keluarga Berencana terkait Safe Motherhood
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
11.1 Safe Motherhood dan Keluarga Berencana
1.
Pengertian
Berbagai upaya terus diusahakan
dalam rangka menurunkan angka kematian ibu. Salah satunya adalah
mengimplementasikan program Safe Motherhood. Safe Motherhood
adalah usaha-usaha yang dilakukan agar seluruh perempuan menerima perawatan
yang mereka butuhkan selama hamil dan bersalin.
Dalam arti
luas tujuan Safe Motherhood dan Making Pregnency Safer itu sama,
yaitu melindungi hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan mengurangi beban
kesakitan, kecacatan
dan kematian yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang sebenarnya
dapat dicegah dan tidak perlu terjadi.Dapat dilihat bahwa Tujuan upaya Safe
Motherhood adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil,
bersalin, nifas, dan menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir.
Upaya ini terutama ditunjukan pada negara yang sedang berkembang karena 99%
kematian ibu di dunia terjadi di negara-negara tersebut.
WHO
mengembangkan konsep Four Pillars of
Safe Motherhood untuk menggambarkan ruang lingkup upaya penyelamatan ibu
dan bayi (WHO, 1994). Empat pilar upaya Safe Motherhood tersebut adalah
keluarga berencana, asuhan antenatal, pelayanan bersih dan aman dan pelayanan
obstetri esensial.
Salah satu dari 4 pilar Safe Motherhood adalah
Keluarga Berencana. Keluarga Berencana adalah KB adalah singkatan dari Keluarga Berencana. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997), maksud daripada ini adalah:
"Gerakan untuk membentuk keluarga yang sehat dan sejahtera dengan membatasi kelahiran." Dengan kata
lain KB adalah perencanaan jumlah keluarga. Pembatasan bisa
dilakukan dengan penggunaan alat-alat kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran seperti kondom, spiral, IUD dan sebagainya. Jumlah anak dalam
sebuah keluarga yang dianggap ideal adalah dua. Gerakan ini mulai dicanangkan
pada tahun akhir 1970'an.
Keluarga
berencana menurut Undang-Undang no 10 tahun 1992 (tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera) adalah upaya peningkatan
kepedulian dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan
(PUP), pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Keluarga
berencana adalah suatu usaha untuk menjarangkan jumlah dan jarak kehamilan dengan
memakai kontrasepsi. Secara umum keluarga berencana dapat diartikan sebagai
suatu usaha yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga
berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan
tidak akan menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan
tersebut. Diharapkan dengan adanya perencanaan keluarga yang matang kehamilan
merupakan suatu hal yang memang sangat diharapkan sehingga akan terhindar dari
perbuatan untuk mengakhiri kehamilan dengan aborsi.
2.
Tujuan Keluarga Berencana (KB)
Gerakan KB dan pelayanan kontrasepsi
memiliki tujuan:
1) Tujuan demografi yaitu mencegah
terjadinya ledakan penduduk dengan menekan laju pertumbuhan penduduk (LLP) dan
hal ini tentunya akan diikuti dengan menurunnya angka kelahiran atau TFR (Total
Fertility Rate) dari 2,87 menjadi 2,69 per wanita. Pertambahan penduduk yang
tidak terkendalikan akan mengakibatkan kesengsaraan dan menurunkan sumber daya
alam serta banyaknya kerusakan yang ditimbulkan dan kesenjangan penyediaan
bahan pangan dibandingkan jumlah penduduk. Hal ini diperkuat dengan teori
Malthus (1766-1834) yang menyatakan bahwa pertumbuhan manusia cenderung
mengikuti deret ukur, sedangkan pertumbuhan bahan pangan mengikuti deret hitung.
2) Mengatur kehamilan dengan menunda perkawinan,
menunda kehamilan anak pertama dan menjarangkan kehamilan setelah kelahiran
anak pertama serta menghentikan kehamilan bila dirasakan anak telah cukup.
3) Mengobati kemandulan atau infertilitas bagi
pasangan yang telah menikah lebih dari satu tahun tetapi belum juga mempunyai
keturunan, hal ini memungkinkan untuk tercapainya keluarga bahagia.
4) Married Conseling atau nasehat
perkawinan bagi remaja atau pasangan yang akan menikah dengan harapan bahwa
pasangan akan mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi dalam
membentuk keluarga yang bahagia dan berkualitas.
5) Tujuan akhir KB adalah tercapainya
NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) dan membentuk keluarga
berkualitas, keluarga berkualitas artinya suatu keluarga yang harmonis, sehat,
tercukupi sandang, pangan, papan, pendidikan dan roduktif dari segi ekonomi.
a. Tujuan umum adalah
membentuk keluarga kecil sesuai
dengan kekutan sosial ekonomi suatu keluarga dengan cara
pengaturan kelahiran anak, agar
diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera
yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
b. Tujuan lain meliputi
pengaturan kelahiran, pendewasaan
usia perkawinan, peningkatan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
c. Kesimpulan dari
tujuan program KB adalah:
Memperbaiki kesehatan dan
kesejahteraan ibu, anak, keluarga dan bangsa;
Mengurangi angka kelahiran untuk
menaikkan taraf hidup rakyat dan bangsa; Memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan KB dan KR yang
berkualitas, termasuk upaya-upaya menurunkan angka kematian ibu, bayi, dan anak serta
penanggulangan masalah kesehatan
reproduksi.
4.
Sasaran Program KB
1) Sasaran Langsung
Pasangan usia subur yaitu pasangan yang wanitanya berusia
antara 15 - 49 tahun, Karena kelompok ini merupakan pasangan yang aktif
melakukan hubungan seksual dan setiap kegiatan seksual dapat mengakibatkan
kehamilan. PUS diharapkan secara bertahap menjadi peserta KB yang aktif lestari
sehingga memberi efek langsung penurunan fertilisasi.
2) Sasaran Tidak Langsung
ü Kelompok remaja usia 15 - 19 tahun,
remaja ini memang bukan merupakan target untuk menggunakan alat kontrasepsi
secara langsung tetapi merupakan kelompok yang beresiko untuk melakukan
hubungan seksual akibat telah berfungsinya alat-alat reproduksinya. Sehingga
program KB disini lebih berupaya promotif dan preventif untuk mencegah
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan serta kejadian aborsi.
ü Organisasi-organisasi,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi pemerintah maupun swasta,
tokoh-tokoh masyarakat (alim ulama, wanita, dan pemuda), yang diharapkan dapat
memberikan dukungannya dalam pelembagaan NKKBS.
ü Sasaran wilayah dengan laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi.
11.2 Peran KB dalam Gerakan Safe Motherhood
Peran
Keluarga Berencana dalam gerakan Safe Motherhood adalah untuk menunjang
tercapainya kesehatan ibu dan bayi, karena kehamilan yang diinginkan dan
berlangsung dalam keadaan dan saat yang tepat, akan lebih menjamin keselamatan
ibu dan bayi yang dikandungnya. Keluarga berencana memiliki peranan dalam
menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, menunda kehamilan
melalui pendewasaan usia perkawinan, menjarangkan kehamilan atau membatasi bila
anak sudah dianggap cukup. Dengan demikian pelayanan keluarga berencana
merupakan upaya pelayanan kesehatan preventing yang paling dasar dan utama
KB dapat
menurunkan angka kematian ibu karena dapat merencanakan waktu yang tepat untuk
hamil, mengatur jarak kehamilan, menentukan jumlah anak. Sehingga tidak ada
kehamilan yang tidak diinginkan, “4 terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu tua,
terlalu sering hamil, dan terlalu banyak anak.Konseling dan
pelayanan keluarga berencana harus tersedia untuk semua pasangan dan individu.
Dengan demikian, pelayanan keluarga berencana harus menyediakan informasi dan
konseling yang lengkap dan juga pilihan metode kontrasepsi yang memadai,
termasuk kontrasepsi darurat. Pelayanan ini harus merupakan bagian
dari program komprehensif pelayanan kesehatan reproduksi. Program keluarga
berencana memiliki peranan dalam menurunkan risiko kematian ibu melalui
pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan, dan menjarangkan kehamilan.
Kematian Maternal adalah kematian
yang berlangsung selama kehamilan, pada saat persalinan dan setelah persalinan
sampai batas waktu 42 hari (postpartum) tetapi bukan karena kecelakaan. Di
Indonesia kematian ibu melahirkan masih merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan. Sampai saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia menempati
teratas di Negara-negara ASEAN, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Program
KB memiliki peranan dalam menurunkan resiko kematian ibu melalui pencegahan
kehamilan, penundaan usia kehamilan serta menjarangkan kehamilan dengan sasaran
utama adalah Pasangan Usia Subur (PUS). Sesuai dengan tuntutan perkembangan
program, maka program KB telah berkembang menjadi gerakan Keluarga Berencana
Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan Keluarga Berencana Nasional
disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun sumber daya
manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB, (BKKBN,2005).
Salah satu strategi dari pelaksanaan
program KB sendiri seperti tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) tahun 2004-2009 adalah meningkatnya penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKPJ) seperti IUD (Intra Uterine Device), implant (susuk) dan
sterilisasi. IUD merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi non hormonal dan
termasuk alat kontrasepsi jangka panjang yang ideal dalam upaya menjarangkan
kehamilan. Keuntungan pemakaian IUD yakni memerlukan satu kali pemasangan untuk
jangka waktu yang lama dengan biaya yang relatif murah, aman karena tidak
mempunyai pengaruh sistemik yang beredar ke seluruh tubuh, tidak memengaruhi
produksi ASI dan kesuburan cepat kembali setelah IUD dilepas.
antara AKB dan AKI dengan Keluarga
Berencana adalah pada isu status reproduksi seperti dinyatakan pada diagram
kerangka konsep. Beberapa kajian menunjukkan keadaan “4 Terlalu” yaitu: keadaan
ibu yang terlalu muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak), usia terlalu tua
tetapi masih produktif, kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan terlampau
dekat. Kondisi ini erat terkait dengan tingginya tingkat kesakitan dan kematian
ibu dan anak. Terkait AKB, satu faktor
penting adalah umur ibu dibawah 20 tahun meningkatkan resiko kematia neonatal,
serta usia ibu di atas 35 tahun meningkatkan resiko kematian perinatal.Odds
Ratio AKB dari ibu usia di bawah 20 tahun sebesar 1,4 kali lebih tinggi dari
AKB pada ibu usia 20-35 tahun. Untuk
mencegah semakin parahnya “4T” tersebut, dilaksanakan program KB di daerah-daerah.
Kesertaan KB umumnya sudah tinggi. Persentase kesertaan KB umumnya pada kisaran
60-70%. Alat kontrasepsi yang paling popular umumnya adalah pil dan suntik.
Namun studi kualitatif menunjukkan
bahwa ketika daya beli alat kontrasepsi sebagian masyarakat rendah, menyebabkan
ketidakmampuan ibu-ibu mengatur jarak dan jumlah kelahiran anaknya. Khusus di
pedesaan, keinginan mengatur jumlah anak sudah ada, tetapi sebagian besar masih
pada tingkat keinginan dan belum dalam praktek. Penyebabnya, karena terbatasnya
akses mereka terhadap pelayanan KB, rendahnya kemampuan ekonomi, atau kurangnya
independensi ibu (pada banyak kasus, menjadi akseptor KB adalah berdasarkan
keputusan suami). Kendala akses pada pelayanan KB akan meningkatkan pula
kejadian Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan bahkan aborsi illegal
Terdapat 3 syarat kondisi upaya
kesehatan yang harus dipenuhi, yaitu: manajemen kesehatan, pelayanan kesehatan,
dan pemberdayaan masyarakat. Dari sisi manajemen, perencanaan program harus
kontinu, bukan berbasis proyek yang hanya jangka pendek dan tidak sustained.
Akurasi data menjadi kunci penting bagi perencanaan. Priority setting adalah
keahlian yang harus dimiliki para perencana. Tidak ketinggalan, fungsi
manajemen (sampai monitoring evaluasi) harus dijalankan dengan cermat dan
tepat. Terkait pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga, sarana, prasarana
(contohnya alat kontrasepsi) menjadi syarat penting. Program juga harus
didukung mekanisme yang memadai dan efektif mencapai lapisan terbawah. Yang
ketiga, pemberdayaan masyarakat, partisipasi masayarakat harus digalakkan
kembali. Pemanfaatan Posyandu oleh balita menurun drastis sejak krismon tahun
1997(Depkes, 2004:83). Peran swasta,
LSM, dan organisasi kemasyarakatan dalam menurunkan AKI dan AKB harus digalang,
diorganisir dengan baik, dan dimobilisasi secara efektif.Ketiga syarat tersebut
dapat diupayakan melalui pemantapan kebijakan nasional. Kebijakan yang sudah
ada dan bersifat makro, menjadi payung untuk kebijakan teknis di bawahnya.
Kebijakan yang tersosialisasi dengan baik, akan menumbuhkan komitmen yang
tinggi dari para stakeholders, baik dari segi program maupun pendanaan. Dan
semuaitu memerlukan strategi advokasi yang sesuai.
Keluarga
berencana merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama bagi wanita , meskipun tidak selalu diakui demikian. Untuk
optimalisasi manfaat kesehatan keluarga berencana, pelayanan tersebut harus
disediakan bagi dan wanita dengan cara menggabungkan dan memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan reproduksi utama dan yang lain , serta juga responsive
terhadap berbagai tahap kehidupan reproduksi wanita. Peningkatan dan perluasan
pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan, yang dialami
oleh wanita berkembang.
Sembilan
puluh Sembilan persen kesakitan wanita di seluruh dunia terjadi di negara
berkembang. Hampir setengah juta wanita meninggal setiap tahun akibat
kehamilan. Kenyataannya, korban yang meninggal mungkin lebih banyak jumlahnya mengingat
sejumlah wanita yang meninggal akibat komplikasi induksi aborsi yang tidak
aman. Diperkirakan sebesar 25-50 persen kematian yang berkaitan dengan
kehamilan. Merupakan akibat aborsi yang dilakukan tidak benar. Setidaknya
sepertiga dari satu milyar orang yang hidup dinegara berkembang tinggal di
negara yang melarang atau sangat membatasi pelayanan aborsi pada kasus
perkosaan, inses, atau penyelamatan jiwa wanita. Keadaan tersebut memaksa
wanita melakukan tindakan yang ekstrim dan berbahaya untuk mengakhiri
kehamilannya.
Pencegahan
kematian merupakan alasan utama pelayanan keluarga berencana, namun demikian
terdapat alasan lain yang juga valid dan tidak kalah petingnya. Meskipun
sebagian besar wanita tidak meninggal akibat hal-hal yang berhubungan dengan
kehamilan, semua wanita tetap memerlukan pelayanan yang aman, efektif, dan
aksesibel untuk membebaskan mereka dari rasa takut akan kehamilan yang tidak
diinginkan dan terjadinya gangguan fisik atau infeksi akibat induksi aborsi
yang tidak aman.ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan keluarga berencana ,
memungkinkan wanita mengatur jarak kehamilan, sehingga mereka dapat memilih
melahirkan anak pada saat mereka mampu merawat dan membesarkan anak. Pelayanan
keluarga berencana memungkinkan wanita bertanggung jawab terhadap kehidupan
reproduksi dan kesehatan tubuh mereka. Meskipun demikian, banyak wanita di
negara berkembang tidak cukup mempunyai kesempatan dan sumber penghasilan untuk
mengatur kehidupan reproduksi mereka melalui keluarga berencana.
Konsep KB
pertama kali diperkenalkan di Matlab, Bangladesh pada tahun 1976. KB bertujuan
merencanakan waktu yang tepat untuk hamil, mengatur jarak kehamilan, dan
menentukan jumlah anak. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi kehamilan
yang tidak diinginkan sehingga angka aborsi akan berkurang. Pelayanan KB harus
menjangkau siapa saja, baik ibu/calon ibu maupun perempuan remaja. Dalam
memberi pelayanan KB, perlu diadakan konseling yang terpusat pada kebutuhan
ibu dan berbagai pilihan metode KB termasuk kontrasepsi darurat. Angka
kebutuhan tak terpenuhi (unmet need) dalam pemakaian kontrasepsi masih tinggi.
Angka pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate) di Indonesia baru
mencapai 54,2% pada tahun 2006. Bila KB ini terlaksana dengan baik maka dapat
menurunkan diperlukannya intervensi obstetri khusus.
Pencegahan
kematian dan kesakitan ibu merupakan alasan utama diperlukannya pelayanan
keluarga berencana . masih banyak alasan lain, misalnya membebaskan wanita dari
rasa khawatir terhadap terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan , terjadinya
gangguan fisik atau psikologik akibat tindakan abortus yang tidak aman, serta
tuntutan perkembangan sosial terhadap peningkatan status perempuan di
masyarakat.
Tujuan
Millenium Development Goal (MDG) 5 adalah untuk meningkatkan kesehatan
ibu dimana indikator utamanya adalah penurunan kematian ibu menjadi 102 per
100.000 kelahiran hidup dan indikator proksinya adalah peningkatan persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan menjadi 90% pada tahun 2015. Selain
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, penurunan kematian ibu
dipengaruhi juga oleh keberhasilan pencapaian universal akses kesehatan
reproduksi lainnya yang kemudian tertuang dalam MDG 5b dengan indikator: CPR
(Contraceptive Prevalence Rate), ASFR (Age Specific Fertility Rate) 15-19
tahun, ANC (Ante Natal Care) dan Unmet need pelayanan KB.
Sejalan
dengan strategi Making Pregnancy Safer untuk penurunan Angka Kematian
Ibu, maka intervensi mengacu pada 3 “tiga” pesan kunci yaitu : 1) setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih 2) setiap komplikasi
obstetrik neonatal mendapat penanganan yang adekuat dan 3) setiap wanita usia
subur mendapat akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan serta
penanganan aborsi yang tidak aman. Berdasarkan Studi Lancet di negara-negara
dengan tingkat kelahiran yang tinggi, keluarga berencana bermanfaat baik untuk
kesehatan ibu dan bayi, dimana diperkirakan dapat menurunkan 32% kematian ibu
dengan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan dapat menurunkan 10%
kematian anak, dengan mengurangi jarak persalinan kurang dari 2 tahun (Cleland,
Bernstein, Ezeh, Faundes, Glasier and Innis. 2006).
Sejak
tahun 1990 sudah ada upaya strategis yang dilakukan dalam upaya menekan AKI
yakni melalui pendekatan safe motherhood, dengan menganggap bahwa setiap
kehamilan mengandung risiko, walaupun kondisi kesehatan ibu sebelum dan selama
kehamilan dalam keadaan baik. Melalui pendekatan tersebut World Health
Organization (WHO) mengembangkan konsep “Four Pillars of Safe
Motherhood” untuk menggambarkan berbagai upaya yang harus dilakukan untuk
menyelamatkan ibu dan bayi sebagai satu kesatuan. Keempat pilar tersebut adalah
1) Keluarga Berencana; 2) Asuhan Antenatal; 3) Persalinan Bersih dan Aman; dan
4) Pelayanan Obstetri Esensial (WHO, 1994). Asuhan antenatal cakupannya sudah
bagus, meningkat terus setiap tahun (SDKI 2012: 95,7%) meskipun kesenjangan
dengan K4 nya masih agak jauh (SDKI 2012: K4 73,5%). Persalinan bersih dan aman
oleh tenaga kesehatan, cakupannya menurut laporan SDKI meningkat cukup tajam
dari 38,5% (SDKI 1992) menjadi 83,1% (SDKI 2012). Demikian juga dengan
pelayanan obstetri esensial sudah dikembangkan melalui pendekatan terpadu
pelayanan antenatal. Namun Keluarga Berencana (KB) yang sudah berkembang pesat
selama 30 tahun (1970-2000), yang telah berhasil menurunkan Total Fertility
Rate (TFR, angka kelahiran total) dari 5,6 (tahun 70-an) menjadi 2,8
(SDKI 1990), justru cenderung stagnan sejak tahun 2000-an. Hal ini dapat
terlihat dari Total Fertility Rate (TFR) laporan SDKI yang stagnan
di angka 2,6 dalam 10 tahun terakhir (SDKI 2002-SDKI 2012), sementara
target nasional adalah 2,1 pada tahun 2014 (RPJMN).
Keluarga
Berencana (KB), dengan indikator CPR (Contraceptive Prevalence Rate =
angka kesertaan ber-KB) dan unmet need pelayanan KB (pasangan usia subur
yang membutuhkan pelayanan KB namun tidak dapat melaksanakannya dengan berbagai
alasan) belakangan masuk dalam MDGs yang tertuang dalam MDG 5b (mewujudkan
akses kesehatan reproduksi bagi semua pada tahun 2015). Adapun target yang
ditetapkan untuk kedua indikator ini adalah meningkatkan CPR metode
modern menjadi 65% dan menurunkan unmet need pelayanan KB menjadi 5%
pada tahun 2015.
Dua
indikator KB di atas dalam sepuluh tahun terakhir tidak mengalami banyak
kemajuan. CPR cara modern yang sudah meningkat pesat selama kurang lebih
10 tahun dari 47% (SDKI 1991) menjadi 56,5% (SDKI 2002) berarti peningkatan
sebesar 9,5% hanya naik 1,4% menjadi 57,9% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir
ini (SDKI 2012). Demikian juga persentase kelompok unmet need yang sudah
menurun pesat selama kurang lebih 10 tahun dari 12,7% SDKI 1991) menjadi 8,6%
(SDKI 2002), berarti penurunan sebesar 4,1%, malah meningkat 0,5% menjadi 9,1%
(SDKI 2007) dan baru turun lagi sebesar 0,6% menjadi 8,5% (SDKI 2012); praktis
penurunannya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini hanya 0,1%. Masih jauhnya
target kedua indikator program KB ini patut diduga berkontribusi terhadap
landainya penurunan AKI dimana program KB merupakan salah satu upaya penurunan
AKI di bagian hulu
Masih rendahnya
angka CPR ini berkaitan dengan masih tingginya unmet need. Tingginya
unmet need pelayanan KB, yakni 8,5% dari jumlah pasangan usia subur
(PUS), baik untuk membatasi kelahiran (4,6%) maupun menjarangkan kelahiran
(3,9%) berpotensi besar untuk terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD).
Oleh sebab itu, dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu, sasaran utama program
KB adalah pada kelompok unmet need, dan ibu pasca bersalin merupakan
sasaran yang sangat penting. KTD pada ibu pasca bersalin, akan dihadapkan pada
dua hal yang sama-sama berisiko. Pertama, jika kehamilan diteruskan, maka
kehamilan tersebut akan berjarak sangat dekat dengan kehamilan sebelumnya, yang
merupakan salah satu komponen “4 Terlalu” (terlalu muda, terlalu tua, terlalu
banyak dan terlalu dekat). Keadaan ini akan menjadi kehamilan yang berisiko
terhadap terjadinya komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan nifas berikutnya
yang dapat berkontribusi terhadap kematian ibu (dan juga kematian bayi). Kedua,
jika kehamilan diakhiri (aborsi, terutama jika dilakukan dengan tidak aman),
maka berpeluang untuk terjadinya komplikasi aborsi yang juga dapat
berkontribusi terhadap kematian ibu. Oleh sebab itu, KB pasca persalinan
merupakan suatu upaya strategis dalam penurunan AKI, juga AKB dan sekaligus
juga penurunan TFR.
BAB
III
SITUASI
TERKINI
111.1 Kondisi
Umum
Situasi KB
saat ini menghadapi kondisi yang tak mudah berkaitan dengan meningkatnya daya
kritis masyarakat yang bisa menggugat banyak hal dengan mudahnya, tak
terkecuali sosialisasi program Keluarga Berencana. Era ketika para pria
divasektomi dengan pendekatan koersif sudah lewat. Pendekatan ini dinilai tidak
memberikan pilihan dan terjauh dari HAM yang didengung-dengungkan selama orde
reformasi berjalan. Kisah sukses KB di masa lalu boleh jadi menyisakan
nostalgia meskipun tidak membuat upaya yang dilakukan pegiatnya saat ini
sia-sia adanya.
Di tengah
ancaman ledakan penduduk jilid dua (setelah era 1970 an) itulah para pegiat
program di seluruh Indonesia kembali menyingsingkan lengan baju, perlu ada
revitalisasi program KB. Berbagai inovasi terus dibuat, sejumlah pendekatan
baru coba dilakukan. Sebagai bagian dari implementasi Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, penggiatan program KB mutlak harus didukung oleh
desain induk (grand design) kependudukan yang saat ini tengah digodok. Kelak,
desain inilah yang akan memetakan daya dukung sumber daya terhadap jumlah
penduduk yang ada. Seberapa besar sebuah daerah dengan jumlah penduduk tertentu
bisa bertahan dengan sumber daya yang ada.Pemetaan ini menjadi penting karena
urusan kependudukan adalah masalah hulu yang jika tak ditangani serius,
ancamannya ke masalah hilir semacam pengangguran, konsumsi energi, kebutuhan pangan
berdampak sangat serius
Penguatan
visi penduduk tumbuh seimbang juga merupakan bagian dari upaya revitalisasi
itu. Anggaran kembali ditingkatkan dan dukungan dari berbagai pihak mulai
digalang seiring jalinan komitmen bahwa kesuksesan program kependudukan dan KB
adalah tugas bersama dan ancaman ledakan penduduk adalah masalah bersama.
International Conference on Population and Development
(ICPD)
pada tahun 1994 di Kairo telah merubah paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan, yang semula berorientasi kepada penurunan fertilitas (manusia
sebagai obyek) menjadi pengutamaan kesehatan reproduksi perorangan dengan
menghormati hak reproduksi setiap individu (manusia sebagai subyek).
Program keluarga berencana memiliki makna yang
sangat strategis, komprehensif dan fundamental dalam mewujudkan manusia
Indonesia yang sehat dan sejahtera. UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan
kependudukan dan pembangunan keluarga menyebutkan bahwa keluarga berencana
adalah upaya untuk mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas..
Terdapat tiga indikator tambahan yang berkaitan
dengan KB dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 target 5b
(Akses Universal terhadap Kesehatan Reproduksi) yang diharapkan akan memberikan
kontribusi dalam upaya peningkatan kesehatan ibu. Indikator tersebut adalah Contraceptive
Prevalence Rate (CPR), Age Specific Fertility Rate (ASFR), dan unmet
need. Target nasional indikator tersebut pada tahun 2015 adalah CPR sebesar
65%, ASFR usia 15-19 tahun sebesar 30/1000 perempuan usia 15-19 tahun
dan unmet need 5%.
Dalam upaya akselerasi pembangunan Kependudukan dan
Keluarga Berencana (KKB), dengan memperhatikan RPJMN dan Renstra BKKBN tahun
2010-2014, maka telah direvisi sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014.
Sasaran yang hendak dicapai pada tahun 2014 adalah TFR sebesar 2,36, CPR
sebesar 60,1% dan unmet need sebesar 6,5%. Dalam satu dekade
terakhir, keberhasilan pelayanan Keluarga Berencana di Indonesia mengalami
suatu keadaan stagnan yang ditandai dengan kurangnya perbaikan beberapa
indikator KB yaitu CPR, unmet need dan Total Fertility Rate
(TFR). Tulisan ini mengkaji situasi pelayanan KB di Indonesia, termasuk
indikator-indikator tersebut, juga perbandingan dengan negara-negara ASEAN,
dalam upaya mendukung peningkatan pelayanan KB serta kesehatan ibu dan bayi.
Pergeseran
perspektif KB dari kewajiban warga negara menjadi kebutuhan individu jelas tak
semudah membalik telapak tangan, namun bukan berarti mustahil dilakukan. Peran
pemerintah secara struktural juga akan lebih mempercepat upaya tersebut.
Berbagai kebijakan yang diluncurkan diharapkan sinergis dengan upaya
pengendalian penduduk. Misalkan saja Jaminan Persalinan (Jampersal ). Kebijakan
ini akan berpihak pada upaya pengendalian pendudukan, ketika ada syarat bahwa
yang dijamin hanya sampai anak kedua. Di bidang pendidikan juga begitu,
misalkan ada kebijakan biaya sekolah gratis, maka itu hanya berlaku
Indonesia
merupakan salah satu negara dengan penduduk terbanyak di dunia. Ledakan
penduduk ini terjadi karena laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi.
Kondisi ini jelas menimbulkan dua sisi yang berbeda. Disatu sisi kondisi
tersebut bisa menjadi salah satu kekuatan yang besar untuk Indonesia. Tetapi di
satu sisi kondisi tersebut menyebabkan beban negara menjadi semakin besar.
Selain menjadi beban negara juga menimbulkan permasalahan lain. Banyaknya
jumlah penduduk yang tidak disertai dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang
mampu menampung seluruh angkatan kerja bisa menimbulkan pengangguran,
kriminalitas, yang bersinggungan pula dengan rusaknya moralitas masyarakat.
Karena
berhubungan dengan tinggi rendahnya beban negara untuk memberikan penghidupan
yang layak kepada setiap warga negaranya, maka pemerintah memberikan serangkaian
usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk agar tidak terjadi ledakan
penduduk yang lebih besar. Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
adalah dengan menggalakkan program KB (Keluarga Berencana). Program KB pertama
kali dilaksanakan pada masa pemerintahan Soeharto yaitu saat Orde Baru. Melalui
KB masyarakat diharuskan untuk membatasi jumlah kelahiran anak, yaitu setiap
keluarga memiliki maksimal dua anak. Tidak tanggung-tanggung, KB diberlakukan
kepada seluruh lapisan masyarakat, dari lapisan bawah hingga lapisan atas dalam
masyarakat. Oleh sebab itu makalah ini disusun untuk mengetahui seluk beluk
mengenai penyelenggaraan KB di Indonesia, mulai dari sejarah, proses
pelaksanaan, kelebihan dan kekurangan dari KB, serta dampak positif maupun dampak
negatf dari pelaksanaan KB.
111.2 Situasi KB di Indonesia Dibandingkan dengan
Negara-negara ASEAN
Pada gambar di atas dapat dilihat
bahwa angka kontrasepsi Indonesia melebihi rata-rata penggunaan kontrasepsi di
negara ASEAN.
Pada
grafik di atas dapat kita ketahui bahwa angka TFR Indonesia masih lebih
rendah daripada TFR rata-rata negara ASEAN.
Pada grafik di atas
dapat kita lihat bahwa unmet need di Indonesia lebih baik dibandingkan
Kamboja, Vietnam dan Thailand namun kurang baik dibandingkan Filipina, Laos dan
Timor Leste
111.3 Situasi Keluarga Berencana di Indonesia
1.
Kesiapan layanan:
Sesuai dengan UU
RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 78 disebutkan bahwa
pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas
pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang
aman bermutu dan terjangkau oleh masyarakat.
a.
Alat dan obat kontrasepsi (Alokon)
Pada saat ini
Pemerintah menyediakan secara gratis tiga jenis alokon di seluruh wilayah
Indonesia, yaitu kondom, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), dan susuk KB.
Terdapat 7 provinsi yang menyediakan alokon lainnya juga secara gratis, yaitu
Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua,
dan Papua Barat. Di provinsi lain, selain kondom, AKDR, dan susuk KB, jenis
alokon lainnya hanya tersedia secara gratis bagi masyarakat miskin (Keluarga
Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1). Dengan demikian memang ada sebagian
masyarakat yang harus membayar sendiri penggunaan alokon yang dibutuhkannya.
b.
Fasilitas kesehatan
Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar diharapkan
memberikan kontribusi terbesar dalam memberikan pelayanan KB di masyarakat.
Namun sejak tahun 1997 telah terjadi pergeseran pemanfaatan fasilitas pelayanan
kontrasepsi oleh peserta KB dari pelayanan pemerintah ke pelayanan swasta,
seperti ditunjukkan dalam hasil SDKI tahun 1997, 2003 dan 2007. Kecenderungan
pemanfaatan fasilitas pelayanan swasta untuk pelayanan kontrasepsi meningkat
secara konsisten dari 42% menjadi 63% dan kemudian 69%, sedangkan di fasilitas
pelayanan pemerintah menurun dari 43%, menjadi 28% dan kemudian 22%.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan
tempat terbanyak masyarakat mendapatkan pelayanan KB di sektor swasta adalah
Bidan Praktek Mandiri, yaitu 52,5%. Fasilitas pelayanan pemerintah seperti
rumah sakit, puskesmas, pustu dan poskesdes atau polindes digunakan oleh
sekitar 23,9% peserta KB.
Hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011, kegiatan
pelayanan KIA/KB telah dilaksanakan di 97,5% puskesmas. Pelayanan KIA dan KB
termasuk 6 (enam) pelayanan wajib puskesmas, maka seharusnya setiap puskesmas
menyediakan layanan tersebut. Namun, masih ada puskesmas yang belum memberikan
pelayanan KIA dan KB, seperti di Provinsi Papua terdapat 18,4% puskesmas yang
belum memberikan layanan KIA dan KB, Papua Barat 5,8%, dan Maluku 3,1%.
Didapatkan pula bahwa sebanyak 32,6% puskesmas memiliki
ruangan poliklinik khusus KB. Persentase puskesmas yang memiliki poliklinik
khusus KB terbesar terdapat di DKI Jakarta (66,4%) dan terendah di Provinsi
Sulawesi Tenggara (12,9%). Di daerah perkotaan sekitar 43,2% puskesmas memiliki
poliklinik khusus KB sementara di daerah perdesaan sekitar 29%.
Meskipun 97,5% puskesmas telah melaksanakan pelayanan KIA/KB,
namun puskesmas yang petugasnya telah mendapat pelatihan KB baru 58% dan hanya terdapat
32,2% puskesmas yang memiliki kecukupan sumber daya dalam program KB. Kecukupan
sumber daya tersebut meliputi kompetensi pelayanan, ketersediaan petugas di
puskesmas, ketersediaan pedoman dan Standar Prosedur Operasional (SPO), dan
bimbingan teknis.
2. Kualitas
layanan
a.
Pemilihan
metode
Pada grafik di atas dapat kita
lihat rasio penggunaan Non-MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) dan MKJP
setiap tahun semakin tinggi, atau pemakaian kontrasepsi non-MKJP lebih besar
dibandingkan dengan pemakaian kontrasepsi MKJP. Padahal Couple Years
Protection (CYP) Non-MKJP yang berkisar 1-3 bulan memberi peluang
besar untuk putus penggunaan kontrasepsi (20-40%).
Sementara itu CYP dari
MKJP yang berkisar 3-5 tahun memberi peluang untuk kelangsungan yang tinggi, namun
pengguna metode ini jumlahnya kurang banyak. Hal ini mungkin disebabkan karena
penggunaan metode ini membutuhkan tindakan dan keterampilan profesional tenaga
kesehatan yang lebih kompleks.
b.
Kepuasan
penggunaan KB
Salah satu yang mempengaruhi
kepuasan dalam menggunakan alat/cara KB adalah masalah/efek samping yang
timbul. Tabel di bawah ini menunjukkan data mengenai masalah yang timbul dalam
pemakaian alat/cara KB menurut metode yang dipakai.
Berdasarkan tabel di atas dapat
kita lihat bahwa IUD, yang merupakan salah satu metode MKJP, paling
sedikit menimbulkan keluhan dibandingkan pil, suntikan dan susuk KB.
3. Dampak
a.
Pengetahuan
pengguna KB
Metode KB dapat dibedakan menjadi
KB cara modern dan cara tradisional. Metode KB cara modern adalah sterilisasi,
pil, IUD, suntik, susuk KB, kondom, intravagina/diafragma, kontrasepsi
darurat dan Metode Amenorea Laktasi (MAL). Sedangkan cara tradisional misalnya
pantang berkala dan senggama terputus.
Pada grafik di
atas terlihat bahwa suntik dan pil adalah cara KB modern yang paling diketahui
oleh masyarakat di semua golongan usia, termasuk pada usia risiko tinggi di
atas 35 tahun. Kedua jenis kontrasepsi tersebut dinilai kurang efektif untuk
mencegah kehamilan. Jenis kontrasepsi yang efektif untuk mencegah kehamilan
bagi wanita risiko tinggi adalah MKJP seperti IUD, sterilisasi wanita
dan sterilisasi pria
Berdasarkan
jenis tempat tinggal, pengetahuan mengenai sterilisasi, IUD, kondom,
diafragma, kontrasepsi darurat dan MAL di perkotaan cenderung lebih tinggi,
sedangkan pil, suntik dan implan di perkotaan juga lebih tinggi namun tidak
jauh berbeda dengan perdesaan.
Pada setiap tingkatan pendidikan,
baik yang tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMU+, maupun tamat
SMU+, metode yang paling diketahui adalah suntik dan pil. Sedangkan yang kurang
diketahui, di setiap tingkat pendidikan juga hampir sama, yaitu MAL,
kontrasepsi darurat, dan diafragma. Pada gambar di atas juga dapat kita lihat
bahwa yang mengetahui mengenai pil, suntik dan susuk cenderung sama di tiap
level pendidikan, kecuali untuk yang tidak sekolah. Sedangkan sterilisasi, IUD,
dan metode lain cenderung semakin diketahui seiring meningkatnya pendidikan.
b.
Total Fertility Rate (TFR)
Gambar di atas menyajikan TFR hasil
SDKI 1991, 1994, 1997, 2002-2003, 2007 dan 2012. Terlihat adanya penurunan dari
3 anak per wanita pada SDKI 1991 menjadi 2,6 anak pada SDKI 2002-2003. Angka TFR
ini stagnan dalam 3 periode terakhir pemantauan SDKI (2002, 2007, 2012).
Untuk mencapai target RPJMN 2014 sebesar 2,36 maupun target MDG 2015
sebesar 2,11, tampaknya dibutuhkan upaya lebih sungguh-sungguh
Pada grafik yang
memuat CPR dan TFR di atas dapat kita lihat bahwa meski angka CPR terus
meningkat dari kurun waktu tahun 1991-2012, namun angka TFR pada periode tahun
yang sama hanya mengalami sedikit penurunan yaitu 3 pada tahun 1991 dan hanya
menurun menjadi 2,6 pada tahun 2012.
c.
Age Specific Fertility Rate
ASFR untuk usia 15-19
tahun menggambarkan banyaknya kehamilan pada remaja usia 15-19 tahun. Hasil
SDKI 2012, ASFR untuk usia 15-19 tahun adalah 48 per 1.000 perempuan
usia 15-19 tahun sedangkan target yang diharapkan pada tahun 2015 adalah 30 per
1.000 perempuan usia 15-19 tahun.
d.
Drop-Out (DO) rate KB
Gambar 12
Pada
gambar di atas dapat dilihat bahwa angka ketidaklangsungan (drop-out)
metode non-MKJP (pil dan suntikan) lebih tinggi dibandingkan metode MKJP (implant
dan IUD) .
e.
Contraceptive
Prevalence Rate (CPR)
Pada
gambar diatas dapat kita lihat bahwa Angka Kesertaan ber-KB (CPR)
peningkatannya sangat kecil, hanya 0,5% dalam 5 tahun terakhir, baik pada semua
cara KB maupun pada cara modern. Target RPJMN 2014 untuk cara modern sebesar
60,1% dan MDG 2015 sebesar 65%, namun capaian tahun 2012 baru sebesar
57,9%.
f.
Unmet
Need
Kelompok
orang yang membutuhkan pelayanan KB tapi tidak mendapatkannya (unmet need)
angkanya masih tinggi, hanya turun 0,6% dalam 5 tahun terakhir, bahkan kalau
dibandingkan dengan capaian 10 tahun yang lalu hanya turun 0,1% (karena angka
ini sempat meningkat pada tahun 2007).
111.4 Artikel Terkait Program Keluarga Berencana
1. Trik Mendes Tingkatkan Kesejahteraan 'Kampung KB' Bersama BKK 04 Feb 2016, 08:23 WIB
Menteri
Desa, PDTT Marwan Jafar (kanan) menerima Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty (kiri) beserta jajarannya di
Kantor Kemendesa, PDTT, Jakarta, Rabu (3/2/2016). (Foto: Wahyu Wening)
Liputan6.com, Jakarta -
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) siap membantu program Kampung Keluarga
Berencana (KB). Program yang dicanangkan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) ini, diharapkan mampu membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa."Asalkan itu adalah yang terbaik untuk
masyarakat desa, pasti kita dukung. Dan kita akan saling bersinergi untuk
ini," ujar Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar saat menerima kunjungan BKKBN di
Kantor Kemendes PDTT, Rabu (3/2/2016).
Kemendes akan membuka pintu selebar-lebarnya ke BKKBN untuk
mengakses informasi yang dibutuhkan selama program tersebut. Pihaknya juga
bersedia bertukar informasi dengan kementerian dan lembaga lainnya, selama hal
tersebut digunakan untuk kemajuan desa."Kalau BKKBN butuh data tentang
desa, akan kita berikan. Kalau soal data desa, memang sudah tepat datang ke
sini. Selama itu untuk kepentingan masyarakat desa, pasti akan kita
bantu," kata Marwan.Kampung KB adalah program BKKBN yang akan dibangun di lokasi padat penduduk. Selain
untuk menekan pertumbuhan populasi, program ini diharapkan mampu mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
"Program KB katakanlah saat ini menurun, jadi harus ada yang
menggalakkan. Presiden juga menekankan sekali, bahwa kita harus kerja keras
untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk," ungkap Kepala Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Surya Chandra Surapaty.Saat
ini tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini mencapai 1,49 persen. Ini
tidak sebanding dengan target pemerintah yang berupaya menekan populasi menjadi
1,1 persen
2. BKKBN Dapat Anggaran 2,3 Triliun untuk Program Keluarga Berencana
Liputan6.com, Jakarta Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendapat alokasi anggaran
dari pemerintah pusat sebesar Rp 2,38 triliun untuk melaksanakan program
kependudukan, keluarga berencana, dan pembangunan keluarga selama tahun 2015.
Kepastian ini didapatkan setelah Komisi IX DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BKKBN, Rabu 18 Februari 2015 menyetujui perubahan alokasi anggaran yang diajukan BKKBN."Komisi IX DPR dalam rapat dengar pendapat dengan BKKBN telah menyetujui perubahan atau pergeseran alokasi anggaran antarprogram BKKBN," kata Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Ambar Rahayu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Alokasi yang telah disetujui oleh DPR ini meliputi 3 poin utama, yakni:
Kepastian ini didapatkan setelah Komisi IX DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan BKKBN, Rabu 18 Februari 2015 menyetujui perubahan alokasi anggaran yang diajukan BKKBN."Komisi IX DPR dalam rapat dengar pendapat dengan BKKBN telah menyetujui perubahan atau pergeseran alokasi anggaran antarprogram BKKBN," kata Pelaksana Tugas Kepala BKKBN Ambar Rahayu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Alokasi yang telah disetujui oleh DPR ini meliputi 3 poin utama, yakni:
ü Program
dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis BKKBN sebesar Rp 634 miliar.
ü Program
pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur sebesar Rp 11,6 miliar.
ü Program
pelatihan, penelitian, pengembangan, serta kerja sama internasional sebesar Rp 266 miliar.
Ambar Rahayu juga menjelaskan, perubahan atau pergeseran alokasi anggaran antarprogram tersebut tidak mengubah kegiatan prioritas yang telah tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran (RKA-KL) 2015.
"Perubahan bersifat pemindahan pencatatan alokasi anggaran bidang generik atau pendukung di provinsi untuk dikelompokkan pada masing-masing program pendukung yang sesuai," jelas Ambar.Setelah ditetapkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dalam hal perubahan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, BKKBN memiliki peranan semakin penting untuk membangkitkan dan mensukseskan program-program kependudukan dan keluarga berencana. Karena salah satu poin dalam UU tersebut mengamanatkan pengelolaan tenaga penyuluh KB atau Petugas Lapangan KB ditarik ke pusat.
Ambar Rahayu juga menjelaskan, perubahan atau pergeseran alokasi anggaran antarprogram tersebut tidak mengubah kegiatan prioritas yang telah tertuang dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga Tahun Anggaran (RKA-KL) 2015.
"Perubahan bersifat pemindahan pencatatan alokasi anggaran bidang generik atau pendukung di provinsi untuk dikelompokkan pada masing-masing program pendukung yang sesuai," jelas Ambar.Setelah ditetapkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dalam hal perubahan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah, BKKBN memiliki peranan semakin penting untuk membangkitkan dan mensukseskan program-program kependudukan dan keluarga berencana. Karena salah satu poin dalam UU tersebut mengamanatkan pengelolaan tenaga penyuluh KB atau Petugas Lapangan KB ditarik ke pusat.
Para penyuluh
ini adalah garda terdepan untuk menyosialisasikan program-program kependudukan
dan keluarga berencana ke masyarakat secara langsung, mulai di perkotaan hingga
pelosok desa terpencil di Indonesia. Sejak diterapkannya otonomi daerah, jumlah
penyuluh KB berkurang, sehingga program-program berjalan kurang efektif, karena
masing-masing daerah memiliki regulasi tersendiri soal keluarga berencana
3. Kiat Ketua Baru BKKBN DIY Kurangi Angka Kematian Ibu Melahirkan
Liputan6.com, Jakarta Angka kematian
ibu saat melahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terhitung tinggi. Hal
ini menjadi perhatian kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) DIY baru, Aan Jumhana
Mulyana.
Aan
sebelumnya menjabat Direktur Bina Lini Lapangan Pusat. Ia menggantikan Evi
Ratnawati yang saat ini menjadi Direktur Bina Balita dan Anak BKKBN Pusat. Aan
mengaku akan berkoordinasi dengan dinas terkait seperti dinas kesehatan dalam
menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan. Sebab menurut Aan angka itu
tidak bisa diturunkan sendiri oleh BKKBN
dan perlu kerjasama dengan dinas lain."Jangka pendek koordinasi dengan
dinas terkait seperti dinas kesehatan, dan lain-lain. Agar angka itu dapat
diturunkan. kita tidak bisa sendiri," ujarnya usai pelantikan dirinya di
Kompleks Kepatihan Jogja Senin (24/10/2016).
Data angka
kematian ibu melahirkan di Daerah Istimewa Yogyakarta dari dinas kesehatan
setempat mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun lalu. Hingga
Agustus 2016 sudah ada 49 kasus sedangkan tahun lalu dari Januari-Desember 2015
ada 49 kasus."Justru itu kita akan sinergi dengan sektor lain karena ini
melibatkan sektor lain juga. Makanya kita dorong dan tingkatkan dengan mitra
kerja kita," ujarnya.. Aan menjelaskan BKKBN DIY juga akan memberikan
informasi tentang program BKKBN
yang setiap tahun menggalakkan program pasangan usia muda yang sudah menikah.
Pasangan muda ini diminta menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang dengan
anjuran dokter dan diharapkan sang ibu kuat saat melahirkan."(Individu)
menikah muda agar menunda punya anak pertama, jika usia menikahnya di bawah 20
tahun. Kita berprinsip menikah ideal itu 21 tahun perempuan,"
4. Warga Jawa Barat Malas Ikut KB ( February 2016 )
Peserta Jaminan Kesehatan
Nasional bisa mendapat alat kontrasepsi secara gratis.Liputan6.com, Bandung -
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan,
tingkat kepesertaan program keluarga berencana di Jawa Barat masih rendah.
Padahal, jumlah penduduk Jawa Barat terbesar di Indonesia.
Menurut Kepala Sub Bidang Advokasi dan Komunikasi Informasi dan Edukasi, BKKBN
Jawa Barat, Elma Triyulianti, pemicu rendahnya warga Jabar ikut KB
karena anggapan program tersebut belum begitu penting dalam sebuah perencanaan
keluarga."Ya kita harus memikirkan cara lain, agar masyarakat tidak hanya
sekedar tahu soal KB, tapi juga masyarakatnya jadi tertarik dan mau," kata
Elma di Bandung, Selasa (9/2/2016).
Elma juga mengatakan adanya slogan 2 anak cukup yang telah dikenal oleh masyarakat, dianggap hanya sebagai aturan khusus kepada para pegawai saja. Di masyarakat sendiri, aturan itu tidak pernah dihiraukan."BKKBN Jawa Barat sekarang ini masih mencari formula yang tepat untuk menyosialisasikan perencanaan berkeluarga, pengaturan kehamilan dan penekanan angka kelahiran," ucap Elma.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan
latar belakang, teori , situasi terkini dan beberapa artikel diatas dapat
diuraikan analisa secara deskriftif bahwa Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI)
tidak terlepas dari masih tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan.
Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) tidak terlepas dari masih tingginya angka
kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy) yaitu mencapai 16,8%
yang berkaitan dengan tingginya angka aborsi. Aborsi sendiri memberikan
kontribusi terhadap kematian ibu sampai 13%. Di sisi lain masih banyak
ditemukan kehamilan yang tidak ideal (terlalu banyak, terlalu muda, terlalu
tua, dan terlalu dekat jarak kelahiran), yang sangat membahayakan bagi
kesehatan ibu atau lebih dikenal sebagai “4 Terlalu (4 T)”
Program KB sejak
tahun 1970-an telah menekan angka kelahiran per wanita usia subur (Total
Fertility Rate/ TFR) sebesar 50 % dari sekitar 5,6 anak menjadi sekitar 2,2
anak per wanita usia subur saat ini. Selain itu program KB juga berperan besar
untuk mencapai pengurangan AKI melalui perencanaan keluarga dengan mengatur
kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan.
Keterkaitan
manfaat KB dengan penurunan AKI melahirkan seringkali tidak dirasakan. Salah
satu penyebab kematian ibu antara lain karena masih rendahnya pemahaman tentang
KB dan kesehatan reproduksi. Rendahnya akses terhadap pelayanan KB juga akan
meningkatkan AKI. Banyak Pasangan Usia Subur (PUS) tidak mendapat pelayanan KB
(unmet need), padahal hal itu berisiko meningkatkan jumlah kematian ibu
karena aborsi yang tidak aman.
Selain itu Terbatasnya dana untuk program KB dan kependudukan menjadi
penyebab utamanya. "BKKBN menargetkan angka ketergantungan 44 persen dapat
dicapai pada 2020. Dengan demikian, jika hasilnya tidak tercapai, masih ada
waktu perbaikan menuju 2030," tambahnya. Ketua Umum Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia Nurdadi Saleh mengatakan, jika jumlah penduduk tak
dikendalikan, persoalan fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan yang
berkualitas dan penyediaan lapangan kerja akan terus menjadi masalah. Karena
itu, semua pihak harus mendorong kembali agar pelaksanaan KB di Indonesia bisa
sukses kembali seperti pada dekade 1990-an.
Angka kenaikan yang cukup stagnan ini tentunya menjadi sebuah
pertanyaan besar, sebenarnya apa yang menjadi permasalahan sehingga partisipasi
masyarakat untuk ikut KB sangat minim. Kita sudah tahu permasalahan yang akan
muncul ketika laju pertumbuhan penduduk tidak dapat dibendung, mulai dari
masalah kemiskinan, SDM rendah dan lain sebagainya. Kalau kita lihat proses
sosialisasi KB sendiri masih menemui banyak kendala, mulai dari masyarakat yang
tidak atau kurang peduli dengan program tersebut sampai pada pelaksanaan
program KB tersebut. Saat ini peran Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB)
masih minim dalam menjalankan tugasnya. Hal ini juga ada kaitannya dengan
jumlah petugas yang hanya sedikit, sampai-sampai satu orang harus menghandle
3-4 desa dengan jumlah penduduk yang mencapai ratusan bahkan ribuan. Seharusnya
ada peran dari masyarakat, missal Ibu-ibu PKK dalam mendukung terwujudnya
program ini. Ada pula indikasi bahwa metode KB yang diterapkan saat ini kurang
tepat, sehingga tidak berjalan maksimal.
Untuk mengatasi permasalahan KB tersebut perlu peran dari
semua lapisan kehidupan, baik pemerintah (dari pusat-kota) hingga masyarakat
itu sendiri. Kepedulian akan tujuan bersama harus ditingkatkan. Perlu juga
pelaksanaan KB yang aman dengan sosialisasi yang baik dari satu keluarga ke
keluarga lain. Penyediaan tempat untuk informasi dan layanan KB yang baik.
Pemberian reward and punishment juga perlu dijalankan dengan baik, agar
peraturan yang ada tidak dilanggar dengan seenaknya saja. Akan tetapi yang
paling penting adalah kesadaran masyarakat itu sendiri dalam melaksanakan
program KB bagi dirinya, keluarga, serta masyarakat. Sebenarnya ada beberapa
faktor yang dapat mendorong terlaksananya program KB dengan baik, diantaranya :
faktor ideology, penyediaan alat kontrasepsi, faktor ekonomi, faktor lokasi
sosialisasi program KB, dan faktor kebijakan negara.
Kedua, kita akan berbicara terkait partisipasi masyarakat
terhadap program KB sebagaimana mereka bertindak sebagai aktor pendukung. Aktor
pendukung bisa berasal dari kalangan mahasiswa, akademisi, medis, sampai aparat
pemrintah (kota sampai desa). Partisipasi mereka dalam meyerukan program KB
demi menekan laju pertumbuhan penduduk serta masalah lain yang mungkin timbul
masih belum maksimal. Seharusnya bekal pendidikan juga bisa dimaksimalkan untuk
sosialisasi, demi partisipasi aktif berbagai elemen dalam mendukung pelaksanaan
program Keluarga Berencana. Sedangkan peran yang perlu kita lakukan dalam
mendukung peningkatan partisipasi masyarakat dalam program KB diantaranya ;
Peran kita dalam mensosialisasikan program KB mulai dari keluarga sendiri,
sampai tetangga kita. Memaksimalkan organisasi masyarakat seperti Karang Taruna
dan PKK untuk mendukung sosialisasi KB di masyarakat dan terakhir kita perlu
membangun jaringan kuat yang mampu berinergi mendukung program KB agar
terlaksana dengan efektif dan efisien.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
angka kematian ibu (AKI) di
Indonesia masih sangat tinggi,,
khususnya di Indonesia. Berbagai penyebab utama nya seperti perdarahan, infeksi
dan eklampsi. Berbagai upaya terus diusahakan dalam rangka menurunkan angka kematian
ibu. Salah satunya adalah mengimplementasikan program Safe Motherhood. Dimana
safe motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan
persalinannya sehat dan aman, serta melahirkan bayi yang sehat.Tujuan upaya
Safe Motherhood adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil,
bersalin, nifas, dan menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru
lahir.Program itu terdiri dari empat pilar yaitu: keluarga
berencana pelayanan antenatal, persalinan yang aman, dan pelayanan obstetri esensial.
Salah satu dari 4 pilar Safe Motherhood yang tidak kalah
pentingnya disini adalah Keluarga Berencana. Keluarga berencana adalah suatu
usaha untuk menjarangkan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi.
Secara umum keluarga berencana dapat diartikan sebagai suatu usaha yang
mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga berdampak positif bagi
ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan tidak akan menimbulkan
kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut. Penduduk telah
menyadari pentingnya pembatasan jumlah anak demi peningkatan kesejahteraan
mereka. Oleh sebab itu, Indonesia masih memerlukan program KB, tetapi dengan
orientasi berbeda. Targetnya bukan lagi menurunkan angka kelahiran, melainkan
meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam pengaturan kelahiran.
Termasuk menyediakan beragam alat kontrasepsi serta membuat masyarakat paham
akan alat kontrasepsi yang mereka pilih. Selain itu, program KB juga tetap
berusaha agar alat dan pelayanan kontrasepsi mudah didapatkan masyarakat dengan
harga yang terjangkau, termasuk mereka dalam kelompok miskin. Dengan adanya
program KB ini dapat bermanfaat untuk menurunkan angka kematian ibu di
Indonesia
DAFTAR
PUSTAKA
Abu bakar, Sukawati.2014. Kesehatan
Reproduksi dan Keluarga Berencana ( Dalam Tanya Jawab ) .Cetakan Kesatu,
Rajagrafindo Persada. Jakarta
Glasier, Anna. 2006. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Irianto,Koes. 2015.Kesehatan Reproduksi ( Reproductive Health ) Teori dan Praktikum. Cetakan
Kesatu, Alfabeta. Jakarta
Koblinsky,M. Timyan, J.
Gay. J. 1997. Indonesia Edition : Kesehatan Wanita : Sebuah Perspektif Global.
Diterbitkan dan dicetak oleh Universitas Gajah Mada.
Prof, dr. Saifudin, AB. 2006. Buku
Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Cetakan Kedua. Jakarta : YBPSP
Pinem. S.2009. Kesehatan Reproduksi dan
Kontrasepsi. Cetakan Pertama. Jakarta : CV. Trans Info Media.
Pusat data dan informasi Kementerian
Kesehatan RI. 2013 : Buletin Jendela data dan Informasi kesehatan. Jakarta.
http://dokumen.tips/documents/peran-kb-dalam-upaya-menurunkan-angka-kematian-maternal-
di-indonesia.html. Diakses tanggal 28 November 2016
http://cecilialudji.blogspot.co.id/2015/03/safe-motherhood.html
Diakses tanggal 28 November 2016
http://novitasarisobri.blogspot.co.id/2012/02/makalah-safe-motherhood.html.
Diakses tanggal 28 November 2016
http://news.liputan6.com/read/2428211/trik-mendes-tingkatkan-kesejahteraan-kampung-kb-bersama-bkkbn
Health.liputan6.com/read/2634180/kiat-ketua-baru-bkkbn-diy-kurangi-angka-kematian-ibu-melahirkan
0 komentar:
Posting Komentar